8 PURNAMA


Surya senja mulai temaram, meninggalkan siluet jingga yang tegak lurus menyelinap masuk ke asramaku dari sela-sela lubang kecil di tembok sebelah barat. Alunan merdu surat At-Talaq ayat 2 dan 3 dari toa masjid menandakan bahwa lima menit lagi adzan maghrib segera berkumandang. Sambil menyiapkan mukena dan sajadah, aku me-lipsync bacaan Qur’an itu. Iya...aku suka sekali ayat tentang rizqi tersebut. Wa yarzuqhu min khaitsu la yahtasib, permulaan ayat ke-3 yang jika di translate ke bahasa kita kurang lebih artinya “Dan Allah memberikan rizqi dari arah yang tak pernah kita duga”. Aku selalu kagum dengan surprise-surprise dari Tuhan yang Maha OK itu.

***
Purnama ke-1
Kakak kandung Ibuku menyematkan nama Hafidzoh kepada bayi yang lahir tepat jam 20.08 di 20 hari pertama tahun 2008. Bayi berzodiak aquarius yang kelak setelah remaja akan terbiasa dipanggil Fidzoh  –dalam Bahasa Arab, Hafidzoh artinya Penjaga, berbeda jauh dengan Fidzoh yang artinya Perak–. Orang-orang bilang aku pendiam, tertutup, jarang bercanda, perfeksionis. Tapi tak masalah, aku sendiri suka sekali spesifikasi diriku ini.
***
Sehari sebelum pengumuman Ujian Nasional. Ketika kami sekeluarga makan malam bersama, ayah tiba-tiba memanggil namaku. Memecah keheningan. “Fidzoh!!”, aku kaget mendengar suara teduh laki-laki yang sangat aku banggakan itu. Ayah sangat disiplin, beliau akan marah ketika ada yang mengeluarkan suara ketika makan. Namun kali ini ada yang aneh. Ada apa dengan ayah. Sambil memendam rasa ingin tahu, aku gagap menjawab panggilannya “da..dalem yah”, ayah meminum setengah gelas air putih sebelum memberi tahu maksud dan tujuan kenapa ayah melanggar peraturannya sendiri untuk tidak berbicara apapun saat makan bersama. “Setelah pengumuman besok pagi, kamu langsung ayah antar ke pesantren di luar kota, kamu ngelanjutin SMA di sana”.

Bibirku kaku, makanan didalam mulut yang belum juga halus terkunyah langsung saja aku telan. 
“Apa yah? sekolah di Pesantren? gimana nanti masa depanku? apa aku bisa kuliah yah? ”, baru pertama kali ini aku mencoba untuk membantah ayah. 

Aku tak habis pikir, kenapa Ayah tega-teganya menyuruhku sekolah di pesantren. 
“Kau tahu Nak? Orang-orang hebat di negeri kita, kebanyakan dari mereka adalah lulusan Pesantren. Bapak Bupati kita, dia alumni salah satu pesantren tertua di negeri ini. Dan Tahukah kau Nak? beberapa menteri di kabinet juga tak sebentar Ngaji di Pesantren, mencari barokah Ilmu dari para Ulama’. Tahukah kau Fidzoh? sebuah rahasia besar, Ayah akan memberitahumu, tapi jangan pernah bilang siapa-siapa. Presiden kita yang hebat itu, yang mampu memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya tanpa pandang bulu, ahli administrasi, seorang politikus handal, pandai berdiplomasi, pakar olahraga, Presiden yang sangat kau kagumi itu, beliau 16 tahun sekolah di Pesantren, bahkan beliau tidak hanya sekolah pesantren di luar kota atau luar provinsi, beliau nyantri di Kairo Mesir dan Hadramaut Yaman. Kau pasti tak tahu Fidzoh”.

Ayah itu paling hebat kalau soal meyakinkan orang lain, dia selalu tahu segala hal. Namun kali ini ayah gagal, dia tak mampu meyakinkanku agar mau sekolah di Pesantren. Dan untuk pertama kalinya aku menolak secara langsung permintaan Ayah. 


“Kenapa ayah tega? Ayah tidak sayang Fidzoh lagi? Fidzoh gak mau jauh dari Ibu dan Ayah. Ayah jahat!!.”, aku tinggalkan piring yang masih ada separuh isinya dan berlari menuju kamar menahan isak air mata. Terdengar lamat-lamat ibu memanggil namaku namun tak ku pedulikan.
***
Kedua kantung mataku masih sembab akibat menangis tadi malam. Hari pengumuman kelulusan tiba. Seperti biasa, dari dulu sekolahku tak pernah mengundang wali murid untuk datang ke sekolah mengambil surat keterangan hasil Ujian Nasional. Pengumumannya dikirim melalui POS. Jadi kami tinggal menunggu penuh was-was kedatangan seorang laki-laki dengan accesories serba oren. Kemeja, jaket, tas, helm, hingga motornya pun berwarna sama. Oren. Warna favorit Fidzoh.

Manusia harus berpendapat agar bisa jadi bahan pertimbangan orang lain, kan Yah?”. aku memulai percakapan di tengah hening. Ayah sudah bersiap-siap menjawab, namun suara deru motor terdengar berhenti di halaman rumah. 

Ibu mengalihkan perbincangan, “Itu Pak Pos sudah datang”.
Dengan senyum khas laki-laki paruh baya, Pak Pos mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Ayah, “Selamat pagi Pak, Bu, Dik. Apakah benar ini rumah Hafidzoh? Siswi MTs paling terkenal di kota ini?”. 
Aku langsung reflek menjawab, “Iya Pak Pos, Aku Fidzoh, Siswi MTs paling terkenal sedunia”. 
Pak Pos tertawa, “Hahaha, selamat Dik Fidzoh kamu dapet peringkat ke-2 se Provinsi. Pak Pos tadi juga dititipi salam dari Kepala sekolah buat Dik Fidzoh”. 
Bahagia sekali rasanya aku bisa berprestasi dan membanggakan orang tua, namun dari palung hati paling dalam, aku tengah menangis, aku masih dihantui rasa takut untuk sekolah di pesantren. 
“Wa’alaikumsalam, terimakasih pak. Emang Pak Pos kenal sama Kepala sekolahku?”, aku menjawab salam dari kepala sekolah, sambil iseng tanya ke Pak Pos yang sedari tadi tidak mau disuruh masuk ke dalam. 
“Haha, kepala sekolahmu itu, si Rohmat yang sampai saat ini masih bujang itu, dia sekamar dengan Pak Pos waktu di Pesantren dulu. Genap 6 tahun kami bersama. Namun bedanya, si Rohmat itu santri teladan sedangkan Pak Pos hanya santri yang bisa dibilang cuman nunut turu, kerjaanya cuman tidur. Makanya dia bisa jadi kepala sekolah MTs paling terkenal sedunia itu. Haha”. Aku terdiam, tercengang mendengar curhatan singkat Pak Pos. 
“Bagaimana Fidzoh? Hatimu belumkah terbuka untuk mau sekolah di pesantren setelah mendengar cerita-cerita itu?”, ayah kembali menginterogasiku. Aku langsung lari ke kamar. Aku tak tahu apa yang dibincangkan ayah dan Pak Pos setelah itu.

Hari ini ayah tidak jadi mendaftarkanku ke Pesantren, mungkin beliau tahu kalau aku sama sekali belum siap untuk berpisah dengan kehangatan keluarga kecil ini. 
Namun keesokan harinya, setelah selesai sarapan, ayah memintaku untuk bersiap-siap, “Ayo Fidzoh, kemasi barang-barangmu. Baju, mukena, sajadah, peralatan sehari-harimu, semua masukan ke koper, nanti siang ayah dan ibu akan mengantar kau ke Pesantren. Kau harus siap nak, apapun yang akan terjadi nanti, Ayah jamin kau akan baik-baik saja. Tenang saja, pesantren tak semengerikan yang selama ini kau bayangkan”. Kali ini pertahananku tak bisa melawan serangan bertubi-tubi itu, aku tak bisa mengelak. Aku mengangguki permintaan ayah.

Kami sekeluarga berangkat habis dzuhur. Ayah menyewa mobil milik Pak lik. Aku duduk disamping Ibu di kursi tengah, Pak lik duduk di belakang kemudi didampingi ayah. “Perjalanan kita kira-kira akan memakan waktu 6 jam, kau boleh tidur dulu Fidzoh. Tidak ada yang ketinggalan kan Bu? Ayo Lik kita berangkat”, ayah seorang admin di salah satu perusahaan swasta di kotaku, ia selalu memperhatikan setiap detail dari apapun. Pada pijakan kaki pertama Pak lik di atas pedal gas mobil sedan warna merah marun itu, hatiku langsung berkecamuk. 
Aku membayangkan bagaimana kehidupan di Pesantren, apakah aku bisa beradaptasi di sana, apakah aku akan betah jauh dari Ibu. Pertanyaan-pertanyaan itu menyembul tanpa mampu terjawab.

16.36, kami berhenti di salah satu pom bensin untuk mengisi cadangan bahan bakar sekalian sholat ashar. Aku tak tahu itu daerah mana. Tempat yang asing, mungkin karena aku jarang bepergian. Aku mengambil air wudhu dan memasukkan receh ke kotak kas mushola yang berdiri tegak di samping stasiun pengisian bahan bakar itu.

“Ini Fidzoh, perjalanan kita tinggal dua jam lagi”, Ayah membeli tiga botol air mineral dan beberapa snack dari minimarket dan memberikannya kepadaku. Kami melanjutkan perjalanan.

Dua jam yang terasa seperti 2 menit, ditambah cara mengemudi pak lik yang seperti sedang beradu cepat dengan Michael Schumacher, pembalap F1 favorit ayah. Pak lik juga sudah fasih dengan jalan-jalan di kota ini. “kita sudah sampai Fidzoh, ini akan jadi rumahmu 3 tahun ke depan” ayah membangunkanku dari lamunan, aku tengah kagum dengan bangunan di hadapanku. 
Dari balik kaca jendela mobil, ku lihat masjid megah dengan dominasi warna putih. Menara di samping kiri yang kokoh berdiri menjulang hampir serupa dengan menara masjid di kotaku. Masjid tertua di negeri ini. 
“Gedung yang 3 lantai itu asrama untuk santri putra, sedangkan yang 4 lantai dan seperti etalase itu untuk putri, seperti hotel kan Fidzoh?, haha. Teman-teman ayah bilang kalo asrama pesantren itu adalah hotel bintang 9, haha”. Aku suka sekali melihat ayah tertawa, wajah teduhnya terlihat tampan sekali.

“Di pesantren ini selain ada SMA tempat kau sekolah nanti, juga ada lembaga pendidikan mulai dari TK, SD, SMP, SMK yang semuanya di bawah naungan pesantren, bahkan juga ada tempat kuliahnya. Tapi ayah ingin kau nanti kuliah di dekat kota kita saja”. 

Ayahku seperti tahu segala hal tentang pesantren yang akan aku tempati ini. “Ayo kita sholat maghrib dulu, baru kemudian nanti sowan ke ndalem”, Ibu memotong aliran kalimat ayah yang seperti banjir itu. 
“Ibu pernah ke sini?”, aku penasaran karena ibu sepertinya sudah tidak asing lagi dengan pesantren itu. 
“Ssst, ini di dalam masjid Fidzoh”, aku langsung tertunduk. Ibu tak menjawab.

Saat melangkah keluar dari masjid megah itu, aku melihat rembulan di kiri langit, indah sekali. Itu purnama. Bersih di sapu awan. Hari pertamaku di pesantren ini, disambut sang ratu malam yang begitu memukau. Semoga hariku –di sini– nanti akan diselimuti keindahan-keindahan berikutnya.


Purnama ke-2
Bulan pertamaku berada di pesantren semua tampaknya lancar-lancar saja, ternyata pesantren tidak seperti yang ku bayangkan dulu. Hari-hariku disibukkan dengan aktifitas yang sangat padat. Ketika harus bangun jam 3 pagi, kemudian qiyamul lail –sholat beberapa rokaat–, tak boleh tidur lagi hingga adzan subuh. 
Kemudian paginya sekolah hingga sore. Istirahat sebentar, lalu ngaji ba’da ashar. Langsung maghrib berjamaah, kemudian ngaji setoran Al-Qur’an dengan pembina asrama –oh iya yang membuatku cepat betah adalah karena seisi kamarku semuanya adalah anak baru, sama sepertiku–, setelah jama’ah isya kami ngaji berbagai macam cabang ilmu agama, dari mulai fiqih, tata bahasa arab, akhlaq, tauhid, dan macam yang lain. Aku menikmatinya.

Ibu selalu menelponku setiap jum’at sore melalui ponsel genggam pembina asramaku, karena santri selain pembina asrama dan pengurus pesantren tidak boleh membawa alat elektronik apapun. Ibu selalu menanyakan kabarku, apakah aku sudah makan, bagaimana pergaulanku dengan teman-teman, apakah aku betah, apakah aku baik-baik saja. Pertanyaan yang selalu sama, dan aku juga selalu meresponnya dengan satu hal yang sama. Menangis. 
“Bu..Fidzoh kangen Ibu, Fidzoh kangen Ayah, Fidzoh pingin pulang”, sambil aku tahan sesak dadaku menahan rasa rindu. 
“Iya Fidzoh, Ibu dan ayah juga kangen banget sama Fidzoh. Minggu depan, tepat 40 hari kamu berada di pesantren, Ibu dan Ayah akan menjengukmu. Fidzoh pingin apa?” suara ibu sedikit meredakan rasa rindu di dadaku. 
“Bu, Ibu jangan nangis, Fidzoh mau sayur semur buatan Ibu”, aku dengar samar-samar ibu menangis, sebelum ibu menutup telpon aku sempat mengutarakan keinginanku. Aku kangen masakan Ibu.
***
“Fidzoh, sini masuk ke kamar pembina”, tumben pembinaku manggil, aku yang tengah melipat pakaian yang baru kering langsung saja menuju kamar pembina. 
“Ada apa Mba, kog tumben manggil Fidzoh”, aku lupa mengucapkan salam saat masuk tadi. 
“Eh kamu gak salam dulu, ini ayah kamu telfon ingin bicara serius katanya”, aku mengulurkan tangan meminta handphone dari tangan pembinaku. 
“Assalamu’alaikum, Yah ada apa?”, saking penasarannya aku langsung to the point, tidak menanyakan kabar ayah dan ibu terlebih dulu. 
“Gimana kabarmu nak? seperti yang dulu ayah bilang, kau pasti baik-baik saja kan di situ?”, aku tersenyum saja menjawab pertanyaan ayah, sebelum beliau melanjutkan tutur katanya. 
“Kau tahu kelas tahfidz kan? Ayah ingin memasukkanmu ke situ”, aku penasaran ayah tahu dari mana kelas tahfidz, kelasnya anak-anak yang bergaulnya cuma sama Al-Qur’an, pagi siang sore malam kerjaanya hanya menghafalkan Kalimat-Kalimat Tuhan itu, membolak-balik setiap halaman, mengulang-ngulang bacaan agar tersimpan rapi didalam memori otak. 
“Tapi Yah, berarti aku tidak melanjutkan sekolah?”, aku bertanya balik kepada ayah.
“Iya nak, tapi ayah ingin kau berfikir dulu, apa kau benar-benar siap mengorbankan masa remajamu yang indah? Ayah ingin kau yakinkan dulu harapan ayah ini”, ayah kemudian menutup telponnya. 
Aku bimbang. Aku meminta saran kepada pembinaku yang sedari tadi sedang nderes. Pembinaku juga lulusan kelas tahfidz. Beliau juga seperti ayah, memintaku untuk meyakinkan diri dulu.
***
what a smile like that, you need no lipstick..if you agree, all you need is to smile again..
Aku senyum-senyum sendiri membaca tulisan tipe-x di meja kelasku, iya senyum meskipun tidak menyelesaikan persoalan, paling tidak mengangkat pipi sambil melebarkan ke dua bibir membuat hati kita sedikit lega. Tadi malam adalah hari ke tujuh aku sholat Istikharoh, meminta petunjuk kepada Tuhan mengenai kebimbanganku pada dua pilihan yang cukup sulit. Apakah aku harus terus melanjutkan sekolah, melangkah seperti teman-teman pada umumnya. Atau memilih untuk masuk kelas tahfidz, menjadi salah satu dari manusia pilihan Tuhan untuk menjaga Kalimat-Nya.

Purnama ke-3
Semenjak masuk ke pesantren aku menjadi lebih dewasa, tidak gegabah mengambil keputusan, lebih tenang menghadapi masalah yang menghadang, dan lebih banyak tersenyum. 
Seperti quotes dari mba pembinaku, “Orang dewasa itu lebih banyak diam, lebih banyak mendengar, dan lebih banyak tersenyum”. 
Setelah beberapa mimpi yang menyiratkan petunjuk dari Tuhan agar aku masuk kelas tahfidz, aku semakin yakin pada pilihan itu. Aku menuruti lagi permintaan ayah. Aku memilih untuk mengorbankan sekolah dan masa indah putih abu-abu. Aku masuk kelas tahfidz tepat di purnama ketiga. Semoga seperti dulu awal aku masuk pesantren, dimana purnama menyambut hadirku dan kemudian diiringi dengan keindahan-keindahan selanjutnya. Sehingga aku berharap purnama ketiga ini, juga awal keindahan lain yang akan menghampiriku.
***
Dari pertama masuk kelas tahfidz, aku sudah langsung minder. Aku paling kecil sendiri. Mba-Mba yang lain mungkin 20 tahunan lebih. Mereka terlihat ramah, semoga memang begitu adanya. 
“Selamat datang di kelas tahfidz, semoga kau betah dan bisa istiqomah”, Aku disambut oleh ketua kamar, dia juga  menunjukkan sebuah lemari kosong di pojok tembok, bersebelahan dengan rak sandal dan tempat sampah. 
Huft, pintu lemarinya rusak. Di kelas tahfidz tidak ada pembina seperti di kelas reguler. Hari pertama cukup lancar, meskipun ada beberapa mba-mba yang kelihatannya sinis terhadapku. Aku tak peduli.
“Hei kau anak baru, namamu  Hafidzoh ya? enak kali kau belum hafal Al-Qur’an sudah dipanggil Hafidzoh –Al-Hafidzoh adalah gelar bagi seorang wanita yang hafal seluruh isi Al-Qur’an, untuk laki-laki disebut Al-Hafidz–. Di kelas tahfidz ini kau harus punya terget, aku punya target 4 tahun selesai. Kau juga gak boleh malas, selalu nderes setiap waktu”, mba-mba sinis itu memberi masukan kepadaku sebagai juniornya, meskipun tutur katanya agak menggores hati. Aku tersenyum saja. 
“Makasih mba, semoga aku bisa istiqomah seperti mba, nama itu adalah do’a kan mba? Kayaknya mba lebih mengerti daripada aku”, menghindari perdebatan, aku minta ijin ke kamar mandi.

Aku tidak ada masalah dengan hafalan Qur’anku, aku bisa mengatur schedule waktuku dengan rapi. Tapi masalah sering timbul dalam pergaulanku dengan teman sekamar. Iya tentu, karena umurku terlampau cukup jauh dari mba-mba kelas tahfidz yang lain. Aku sering melakukan hal yang mereka anggap salah, padahal menurutku itu hal wajar. Bahkan aku sampai sempat dibenci gara-gara meminjam handuk tanpa minta ijin. Ahh, siapa coba yang kekanak-kanakan.


Purnama ke-4         
Hari-hariku di kelas tahfidz tidak berjalan mulus, terlalu banyak tanjakan dan tikungan berlubang yang harus aku lalui dengan hati-hati. Ditambah aku mendapat kabar dari Ibuku bahwa ayah sering sakit-sakitan, beliau sering tidak masuk kerja. 
“Nak, ayahmu di pecat dari perusahaan. penyakit asmanya sering tiba-tiba kambuh, jadi Ibu menyuruhnya untuk tinggal di rumah saja. Sekarang Ibu bekerja serabutan untuk membiayai pesantrenmu”, aku menangis di dalam loket wartel. 
Semenjak pindah dari kelas reguler, aku harus menyewa telpon umum untuk menghubungi Ibu. 
“Bu, Fidzoh berhenti saja ya dari pesantren, Fidzoh tidak mau membebani Ibu, Fidzoh ingin membantu Ibu merawat Ayah”, air mataku menetes semakin deras, di seberang sana ku dengar Ibu juga menangis. 
“Fidzoh, dengarkan Ibu. Kau harus selesaikan hafalanmu, jadilah wanita istimewa seperti yang selalu ayahmu impikan. Kau tak perlu cemaskan Ibu, cukup do’akan ayahmu semoga beliau lekas diberi kesembuhan”, Ibu selalu punya cara menutupi kesedihannya.

Akhir-akhir ini setoran hafalanku sedikit kacau, mungkin karena fikiranku terlalu berfokus terhadap masalah yang tengah menimpa keluargaku. 

“Kau kenapa Fidzoh? sudah 3 hari ini hafalanmu amburadul, kau sedang jatuh cinta kah? Selesaikan dulu hafalanmu, jangan kau main pacaran gak jelas”, Ibu Nyai menegurku, namun beliau salah sangka, ahh. 
Aku belum tertarik cinta-cintaan dengan sosok yang bernama laki-laki itu, karena bagiku tidak ada yang lebih hebat, lebih tangguh, lebih ganteng dari ayah. Aku tidak ingin cerita kepada siapapun tentang masalah di rumahku. Di kelas tahfidz aku belum menemukan tempat curhat seperti Ana, teman kelas reguler dulu.

Purnama ke-5         

Penyakit asma ayahku semakin parah, beliau harus di opname di rumah sakit terbesar di kotaku. Aku ijin pulang. Semenjak aku diantar ayah dan ibu ke pesantren ini lima bulan yang lalu, aku belum sama sekali menginjakkan kaki di kota kelahiranku. Aku langsung ke rumah sakit, sudah ada Ibu, Pak lik dan Bu lik, serta beberapa kerabat dekat yang lain. 

“Fidzoh, kau sudah sampai. Ayah kangen itu sama Fidzoh, sana temui dulu ayahmu”, ibu menyambutku dengan senyuman yang sedikit dipaksakan. 
Setelah aku bersalaman dengan seluruh kerabat yang menjenguk ayah, aku langsung masuk ke kamar ayah. Ayah sedang istirahat, wajahnya tetap teduh, gantengnya belum hilang meski kulit wajahnya mulai terlihat keriput.

“Fidzoh sayang ayah, ayah harus sembuh. Ayah harus hadir di acara khataman kelulusan Fidzoh dari kelas tahfidz, Fidzoh ingin membuat ayah bangga. Ayah harus cepat sembuh”, aku menggenggam tangan kanan sambil berbicara kepada ayah yang belum juga terbangung. Aku menangis.

“Fidzoh, ini makan dulu. Kau juga harus istirahat, pasti capek setelah perjalanan jauh”, Ibu mengulurkan sepiring nasi dan sayur semur buatannya sendiri. Makanan favoritku. Aku menurut, semalam aku juga tak bisa tidur memikirkan keadaan ayah.

Belum ada setengah jam aku tertidur di samping ranjang ayah, aku kaget dibangunkan oleh Ibu. “Fidzoh, Fidzoh bangun, ayahmu harus dioperasi, kau berdo’a semoga semuanya berjalan lancar”, aku menangis mendengar ucapan Ibu, aku langsung lemas, hampir pingsan. Ibu langsung memberiku segelas air putih.

“Bu, nanti siapa yang akan membayar biaya operasi ayah? Apakah Ibu punya uang sebanyak itu”, aku bertanya pada Ibu yang tampak sangat sedih.
“Kau tenang saja Fidzoh, Ibu akan berusaha mencari cara untuk membayar semua biaya operasi ayah. Kau berdo’a saja, semoga operasi ayahmu berjalan lancar.”, ibu tampak sangat yakin.

Dari jauh tampak dua sosok laki-laki gagah, dengan jas hitam, kemeja putih berdasi. Mereka menghampiri kami. Ibu yang tengah memeluk tubuhku tiba-tiba seperti ingat sesuatu. 

“Pak Santo?”, Ibu ternyata kenal dengan orang asing itu. 
“Iya bu, bagaimana keadaan bapak? Apakah sudah membaik?”, orang asing yang Ibu menyebutnya Pak Santo menanyakan kabar ayah, Ibu tertunduk sebelum kemudian menjelaskan secara detail semuanya kepada Pak Santo dan temannya yang hanya diam saja. 
“Saya turut sedih bu, begini Bu maksud kedatangan kami ke sini, yang pertama ingin menjenguk bapak, karyawan terbaik di perusahaa kami, yang kedua kami ingin membantu meringankan beban Ibu dan Bapak, kami dari perusahaan akan membayar semua biaya rumah sakit, sebagai salah satu reward untuk Bapak atas dedikasinya terhadap perusahaan”. 
Sungguh Tuhan Maha Agung, Dia selalu mendatangkan Rizqi dari arah yang tak pernah kita sangka-sangka. Ayahku berhasil operasi. Beliau sembuh.

Purnama ke-6
Tiga hari di rumah, sepertinya semua tampak berbeda. Ayah sudah sembuh, tinggal pemulihan pasca operasi. Ayah menyuruhku kembali lagi ke pesantren, Ibu juga sependapat dengan ayah. Aku harus mengejar targetku yang lebih hebat dari mba-mba sinis itu, terget yang aku canangkan adalah khatam dalam 2 tahun. Tapi jika aku hitung-hitung lagi, beberapa bulan saja aku sudah hafal lebih dari 15 juz, aku bisa selesai kurang dari dua tahun. Semoga saja Tuhan selalu memudahkan.

***
“Kau rajin sekali Fidzoh, belum genap setengah tahun kau sudah hafal 20 juz, bacaanmu juga lancar, makhroj dan tajwid semua sempurna. Kau istimewa Fidzoh”, Ibu nyai memujiku berlebihan. 
Kuncinya sebenarnya hanya satu, selalu Istiqomah. Aku punya jadwal sendiri yang wajib aku laksanakan dan satu lagi nasihat ayah yang selalu aku pegang, “Fidzoh, jika kau ingin menjadi Istimewa, ingin berbeda dari orang lain, tidurlah lebih larut dan bangunlah lebih pagi”.

Purnama ke-7
Haflah Khotmil Qur’an, seperti wisuda buat para santri yang telah selesai menghafalkan Al-Qur’an tinggal 1 bulan lagi. Hafalanku hampir selesai, semoga targetku bisa tercapai sebelum haflah dilaksanakan. Malam ini aku kembali melihat purnama, setelah tiga bulan berlalu aku bahkan lupa kapan bulan itu kembali terlihat bulat sempurna. Jum’at kemarin aku ke wartel, menelpon Ibu. Ibu dan Ayah baik-baik saja. Syukurlah. Aku bisa fokus pada hafalanku. Tak lupa aku meminta do’a dari ibu untuk kelancaran semuanya.

Waktuku kali ini ku habiskan semuanya untuk menyelesaikan hafalanku yang tinggal 5 juz lagi. Aku memakai Al-Qur’an cetakan Turki, jadi 5 juz sama dengan 50 lembar. 
“Hey, aku mengakui kehebatanmu. Kau memang istimewa, apa sih rahasiamu?”, mba-mba sinis itu juga memujiku, aku memberikan rahasiaku kepadanya, selalu istiqomah dan memegang teguh nasehat dari ayah. Semakin ke sini aku mulai betah di asrama, mba-mba yang dulu sedikit menjauhiku sekarang sudah akrab dan menganggapku seperti adik mereka sendiri. Alhamdulillah berkat do’a Ibu.
***
“Fidzoh, kau disuruh Ibu Nyai untuk sowan ke ndalem beliau. Ada tamu yang ingin menemuimu”, salah satu pengurus pesantren menyampaikan pesan dari Ibu Nyai kepadaku. 
Setelah merapikan kerudung, aku langsung beranjak menuju ndalem. Aku kaget, ada Pak Lik di sana. 
“Assalamu’alaikum”, aku mengucap salam sambil merangkak dan menyalami tangan Ibu Nyai
“Fidzoh, ini Pak lik mu ingin menyampaikan sesuatu”, Ibu Nyai berkata sambil menepuk pundakku. 
“Begini Fidzoh, Ibumu ingin kamu pulang. Pak lik disuruh menjemputmu”, aku semakin bingung, ada apa sebenarnya. 
Biasanya Ibu telfon dulu kalau ada apa-apa. Ahh, semoga semuanya baik-baik saja. 
“Sana ikut Pak lik mu pulang, aku sudah izinkan kau untuk beberapa hari di rumah”, Ibu Nyai semakin membuatku penasaran.

Di perjalanan pulang Pak lik tak sedikitpun membuka mulutnya. Aku pun yang akhirnya memulai percakapan. 

“Sebenarnya ada apa pak lik? Kog tiba-tiba Ibu pingin aku pulang?, ayah..ayah tidak apa-apa kan Pak Lik?”, aku reflek memegangi pundak Pak Lik, yang kali ini menyetirnya bahkan lebih ngebut dari dulu ketika mengantarku pertama kali ke pesantren.
“Gak apa-apa, Ibumu hanya kangen. Sudah tidur dulu sana, perjalanan kita masih jauh”, Pak lik cuek sekali menanggapi pertanyaan yang bagiku sangat penting itu.

“Fidzoh bangun, kita sudah sampai”, Pak lik pelan-pelan membangunkanku. Aku langsung pingsan sesaat kemudian, setelah melihat bendera putih di depan rumahku. Entah berapa lama kemudian aku siuman disamping Ibu. 
“Fidzoh kau sudah siuman, ayahmu sudah tak ada, beliau menghadap Tuhan ketika sedang mengulang hafalan Qur’annya. Selama ini ayahmu merahasiakan semuanya, bahwa ia seorang Hafidz pasti kau tak tahu. Dan dulu, waktu kau tanya apakah ibu pernah ke pesantrenmu. Iya, Ibu dan ayahmu adalah alumni pesantrenmu. Ibu dan ayah sama-sama lulusan kelas tahfidz, tapi kami berdua tak sehebat dirimu dalam menghafal Kalam Ilahi. Ayahmu bersyukur sekali kau mau sekolah di Pesantren, apalagi kau juga rela mengorbankan masa remajamu dengan masuk kelas tahfidz. Ayahmu sungguh bangga denganmu. Kau tak perlu menangis Fidzoh, ikhlaskan ayahmu. Dia pasti salah satu ahli surga. Jangan menangis sayangku”, aku tak bisa membendung air mataku mendengar cerita-cerita Ibu yang selama ini aku tak pernah tahu.
***
Ibu menyuruhku berangkat lagi ke pesantren setelah sepuluh hari di rumah, aku sempat menolak, aku tak ingin Ibu sendirian. Namun Ibu memaksa, “Sebentar lagi hafalanmu selesai, kau harus pulang ke pesantren, pasti Ibu Nyai sudah merindukanmu”. Aku berangkat masih dengan rasa pilu di dadaku.

Purnama ke-8

Hafalan Al-Qur’anku selesai, setelah berkejaran dengan tanggal dilaksanakannya Haflah Khotmil Qur’an akhirnya aku bisa tepat waktu, meskipun sempat terlambat dua hari dalam mendaftarkan diri sebagai Khatimin, namun panitia masih memberiku toleransi. Syukurlah. Ayah pasti bangga melihatku dari sana.
***
Ibuku datang diantar Pak lik dan Bu lik, dengan mengenakan gamis warna oren yang belum pernah aku lihat. Ibu cantik sekali. Prosesi Haflah berlangsung Khidmat, pada saat dibacakan do’a khotmil Qur’an, aku dipanggung menangis. Aku teringat ayah. Dulu ayahku pernah duduk di sini, menjadi salah seorang Istimewa pilihan Tuhan. Ibuku juga. Hari ini 15 sya’ban, semoga purnama tak tertutup awan.


Setelah aku turun dari panggung, langsung ku temui Ibu di kursi para tamu. Aku memeluknya. Kami sama-sama menangis. 
“Ibu terimakasih untuk semuanya, aku rindu ayah Bu”, Ibu semakin erat memelukku. 
“Iya Fidzoh, semoga kita nanti disatukan lagi di surga sebagai Ahlul Qur’an”, aku mengamini do’a indah Ibu. Kemudian ibu menggenggam tanganku dan mengajakku keluar dari komplek pesantren, 
“Itu Fidzoh, purnamanya indah sekali bukan?, kau suka memandangi purnama kan.”

0 Response to "8 PURNAMA"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel